by : Damhuri Muhammad
Personalitas manusia bertopeng semacam itu juga menjadi perhatian serius dalam teks monolog Wakil Rakyat yang Terhormat karya Putu Fajar Arcana, yang dibukukan dalam Monolog Politik (2014). Berkisah tentang seorang wakil rakyat yang merasa hidupnya terpasung di balik topeng. Ia mengaku telah mengkhianati amanah rakyat, menangguk keuntungan atas nama rakyat, menimbun kekayaan dengan menghalalkan segala cara, dan menggunakan muslihat jahat demi mempertahankan kursi di parlemen. Itu semua karena ulah topeng yang telah meringkus wajah aslinya. Ia menyesal dan ingin mengelupaskan topengnya hingga kembali menjadi manusia biasa. Celakanya, topeng itu sudah bersenyawa dengan kulit wajahnya. Dengan segala cara ia membuka topeng itu. Sialnya, setelah topeng terkelupas, muka aslinya ternyata jauh lebih buruk.
Monolog itu telah dipentaskan di Bentara Budaya Jakarta, 19 Juli 2014, diperankan oleh aktris kawakan Ine Febriyanti dan disutradrai langsung oleh Putu Fajar Arcana. Sengaja atau tak, panggung itu relevan dengan momentum politik, karena penyelenggaraannya hanya dua bulan selepas Pemilu Legislatif (Pileg) dan beberapa hari setelah Pilpres 2014. Masih segar dalam ingatan kita, betapa dusta diumbar di mana-mana, fitnah merajalela, baik politisi maupun simpatisan saling sikut, saling seruduk, guna mendulang suara. Kontestasi politik yang begitu runcing menjelang Pilpres bagai panggung teater yang lebih dramatik dari teater paling dramatik sekalipun. Karena berbeda pilihan Capres, banyak pertemanan berubah menjadi permusuhan, yang hingga kini mungkin belum terdamaikan. Hubungan atasan-bawahan, mertua-menantu, bahkan suami-istri retak, hanya karena perbedaan pilihan politik. Maka, tantangan panggung monolog yang hendak memotret perilaku politik--apalagi personalitas subyek politik--menjadi tidak main-main. Ia harus lebih intens, eksperimental, dan lebih dramatik dari peristiwa politik, yang dalam prolog Putu Wijaya di buku itu, disebut “teater spektakuler yang begitu mencekam.”
Pada 20 Juli 2014 dipentaskan pula lakon bertajuk Orgil (Orang Gila), monolog keempat dari lima monolog yang terhimpun dalam buku tersebut. Diperankan oleh aktor Didon Kajeng, dan disutradarai Afif Mahfuz. Berkisah tentang pengakuan seorang tokoh kunci dalam skandal korupsi yang melibatkan banyak petinggi Parpol. Demi keamanan negara dan nama baik seorang petinggi Parpol yang sedang berkuasa, tokoh kunci itu diklaim gila, lalu dijerumuskan ke Rumah Sakit Jiwa, hingga kesaksiannya tak bisa dibenarkan. Lagi-lagi, Arcana hendak menyingkap personalitas subyek politik, yang pertaruhannya tak tanggung-tanggung. Bila pencapaian estetiknya tidak sampai, monolog itu akan segera terhimpit oleh lalu lalang kabar tentang Bupati yang tertangkap tangan oleh KPK, atau mantan menteri berstatus tersangka, tapi masih bisa tersenyum lebar di layar kaca, seperti kaum selebritas. Sandiwara yang begitu menakjubkan.
Meski begitu, teks monolog bukan saja untuk dipanggungkan. Ia juga kesaksian yang berasal dari situasi menyepi. Di saat politisi jauh dari keriuhan gelanggang politik, kejernihan biasanya menyembul ke permukaan, kewarasan menghentak-hentak menolak siasat jahat yang sedang direncanakan. Dari situlah Arcana membangun Monolog Politik-nya. Kelak, teks-teks monolog itu bukan sekadar pengakuan personal manusia politik yang menjadi panggilan penciptaan seorang sastrawan, tapi juga pengakuan massal setiap orang dalam jaring laba-laba politik, atau yang disebut oleh Claude Lefort (1988) sebagai “the political” (le politique). Tokoh imajiner dalam Wakil Rakyat yang Terhormat dan Orgil bukan saja representasi dari politisi tertentu, tapi juga pengakuan massal--bahkan banal--dari semua subyek politik. Sebab, yang berperangai politik menyimpang bukan saja elit, rakyat jelata yang menerima amplop sebelum berangkat ke TPS, sama bobroknya dengan para penggila kursi di parlemen itu. Kita sadar bahwa kita sedang berdusta, namun kita hanya mengakuinya dalam kesendirian, saat berbicara dengan diri sendiri, saat bermonolog.
Begitulah semestinya posisi sastra dalam hiruk-pikuk politik yang tak terpermanai itu. Ia berkhidmat di ranah kesaksian, dan bertahan untuk tidak terseret arus deras politik. Sebelum Pilpres 2014, dunia sastra dikejutkan oleh munculnya sejumlah puisi--atau yang setidaknya disebut “puisi” oleh kaum politisi--seperti Sajak Tentang Boneka, Sajak Seekor Ikan, Airmata Buaya, Raisopopo, karya penyair-politisi, Fadli Zon. Puisi-puisi instant yang dirancang atas dasar sinisme pada lawan politik tertentu. Namun, alih-alih dapat dipersepsi sebagai puisi, malah terdengar sebagai slogan. Semacam bahasa politik yang menyaru ke dalam tubuh puisi. Monolog Politik karya Putu Fajar Arcana seolah hendak merespon karya sastra yang diperlakukan sebagai perkakas politik itu. Sastra adalah mata, bukan senjata. Ia bermula dari kejernihan dan kewarasan, bukan dari kedengkian, apalagi kebencian. Bila politik gemar membuat topeng, sastra senantiasa akan menyingkapkannya…
“Itu barang berharga, masa kamu lupa?” bentak nyonya Sonia pagi itu.
“Coba cari di lemari pakaian bekas, kalau ndak ketemu, cari di gudang! Pokoknya bendera itu harus ketemu. Paham?” sambung nyonya lagi, suaranya sedikit meninggi.
“Iya Nya, iya…” jawab Sumi, gugup.
Meski Sumi mengobrak-abrik lemari pakaian bekas atau membongkar tumpukan barang-barang di gudang, ia tidak bakal menemukan barang yang dicari. Sebab, bendera itu kini ada di dalam celana Jawul. Setelah dikibarkan pada hari ulang tahun kemerdekaan tahun lalu, Sumi memang menyimpannya di gudang, tapi diam-diam Jawul mengambilnya, lalu membawanya ke tukang jahit untuk dibuat jadi celana pendek. Unik juga hasilnya, celana pendek Jawul memiliki dua warna. Sisi sebelah kiri putih, sisi kanannya merah. Karena serat bahannya kasar dan murahan, setelah hampir setahun dipakai Jawul, celana pendek itu mulai lusuh. Sisi kiri tak bisa disebut putih lagi, kuning juga bukan. Begitu juga sisi kanan, merah tidak, cokelat pun bukan. Kusam.Lusuh
“Sampean lihat bendera ndak?” tanya Sumi.
“Lho, yang nyimpan sampean malah nanya aku,” balas Jawul, pura-pura tidak tahu.
“Gawat Mas, gawat!”
“Apanya yang gawat?”
“Nyonya bisa marah besar kalau bendera itu ndak ada.”
“Walah, soal bendera aja kok gawat? Apa susahnya? Beli aja yang baru. Gonta-ganti mobil tiap tahun, masa beli bendera aja ndak bisa?”
“Tapi Nyonya tahu kalau bendera tahun lalu masih bagus. Mubazir kalau beli lagi, katanya.”
Sebenarnya Jawul tidak tega melihat Sumi uring-uringan seperti itu. Lagi pula, bila bendera itu tidak ditemukan, yang diomeli nyonya Sonia bukan Sumi saja. Sebagai satpam, tentu Jawul lebih bertanggungjawab dalam urusan pengibaran bendera. Ia bakal kena getahnya juga. Jadi, mau tak mau Jawul harus ikut memikirkan bagaimana caranya agar pada 17 Agustus nanti, bendera mesti berkibar. Semula Jawul ingin berterus terang saja pada Sumi, tapi setelah ditimbang-timbang dan dipikir-pikir lagi, pengakuannya tidak akan mengubah keadaan, percuma. Kalaupun Sumi tahu bendera yang hilang itu telah disulapnya jadi celana pendek, nasi sudah jadi bubur. Kain bendera sudah jadi celana pendek, dan celana pendek tak mungkin jadi bendera kembali. Parahnya lagi, satu-satunya celana pendek yang dimiliki Jawul hanyalah celana pendek dari bahan kain bendera itu, itupun sudah penuh tambalan di pinggul kiri, paha kanan, pun di bagian selangkangan.
Jawul dan Sumi agak lega setelah mereka membongkar tumpukan barang-barang di gudang belakang. Mereka menemukan ratusan lembar bendera baru, dan menurut Sumi belum pernah dikibarkan sama sekali. Hanya saja, bendera-bendera itu tidak seperti bendera yang diinginkan majikan mereka. Kombinasi warnanya bukan merah putih, tapi kuning menyala.
“Nah, gimana kalau pakai yang ini saja?” tanya Jawul
“Ojo ngawur sampean! Itu bendera milik Bapak. Sisa kampaye bulan lalu. Bukan itu yang kita cari,” Sumi menggerutu.
“Siapa tahu nyonya setuju kalau kita pakai bendera kuning ini. Bendera-bendera ini masih baru, belum pernah dipasang pula.”
“Ndak usah cari masalah! Pokoknya aku ndak mau. Titik!”
“Lho, asal kamu tau, justru bendera-bendera ini yang bikin jabatan Bapak jadi awet. Dan, kita bisa cari makan di sini. Gitu lho,” jelas Jawul, sok pintar.
“Tapi yang kita cari bendera merah putih. Ini hari ulang tahun kemerdekaan, bukan musim kampanye, ngerti sampean?”
Ulang tahun kemerdekaan tinggal satu hari lagi. Sumi dan Jawul makin gelisah, sebab barang yang mereka cari belum kunjung ketemu. Sumi hanya bisa berharap semoga Jawul melakukan sesuatu supaya besok pagi bendera sudah terpasang di halaman rumah majikan mereka.
“Jika bendera itu tidak ditemukan sampai besok pagi, saya pecat kalian! Mengerti?” nyonya Sonia mulai naik pitam.
“Cari sampai ketemu!”
“Di gudang banyak bendera Nya, tapi warnanya kuning semua,” sela Jawul.
“Saya mau bendera merah putih. Kalau bendera kuning juga banyak di lemari kamar saya.”
“Ada apa Ma? Kok ribut-ribut?” sapa Bapak yang baru muncul dari kamarnya.
“Ini lho pa, kita belum punya bendera untuk dikibarkan besok pagi.”
“Bendera bekas tahun lalu hilang.”
“Sudahlah, beli saja yang baru!”
“Tolong kamu yang cari Wul!” suruh Bapak pada Jawul sambil memberikan sejumlah uang.
“Baik Pak!”
***
Jawul sudah mendatangi lapak-lapak pedagang kaki lima yang menjual atribut-atribut partai di setiap penjuru kota, begitu juga toko-toko bahan pakaian di pasar inpres, tapi ia belum mendapatkan bendera itu.
“Kenapa Bapak ndak menjual bendera? Kan banyak yang butuh,” tanya Jawul pada seorang pedagang.
“Bukan tidak mau Mas, sulit mendapatkan bahan kain warna merah dan warna putih.”
“Maksudnya?”
“Stok kain warna putih dan warna merah itu katanya sudah habis untuk bikin bendera partai.”
“Lalu, di mana saya bisa dapatkan bendera merah putih itu?”
“Saya cuma butuh satu bendera saja. Sangat butuh!”
“Coba cari di pinggir-pinggir jalan utama!”
Jawul menelusuri ruas-ruas jalan utama, pelataran-pelataran trotoar, halte-halte pemberhentian bis kota, sisi kiri dan sisi kanan traffic light. Tapi, tak seorangpun pedagang bendera yang menggelar dagangan di sana.
“Di jalan ini dilarang jualan bendera. Merusak keindahan kota, katanya. Udah lama tidak ada pedagang bendera di sini, Mas,” begitu jawab tukang tambal ban di pinggir jalan ketika ditanya Jawul. “Tahu pindahnya ke mana?” Orang itu menggeleng.
Jawul makin cemas. Karena ulah bendera itu ia terancam bakal kehilangan pekerjaan. Ia mampir di sebuah warung, tak jauh dari tempat tukang tambal ban tadi. Melepas lelah sambil menyumpal perut yang mulai keroncongan. Setelah menggasak sepiring nasi ditambah dua buah tempe bacem, saat menjangkau serbet yang tergantung di pojok warung itu, Jawul tersentak kaget. Kain serbet yang masih dipegangnya ternyata selembar bendera. Meski kotor, ia yakin kalau serbet itu pasti dulunya bendera. Sisi sebelah bawahnya hitam karena daki tangan, tapi warna merahnya masih lumayan kinclong. “Nah, ini dia.” Jawul membatin.
“Apa sampean ndak punya serbet lain? Ini kan bendera, kok dijadikan lap tangan?” tanya Jawul.
“Udah syukur saya jadikan serbet, dulu saya temukan di tong sampah. Lalu saya rendam pakai deterjen dan lumayan kan? Masih bisa jadi lap tangan. Masih bermanfaat,” jawab pemilik warung itu.
“Brengsek!” maki Jawul dalam hati.
“Kalau saya beli, situ mau jual ndak?”
“Ntar saya nggak punya serbet lagi dong?”
“Situ kan bisa beli serbet baru dengan uang saya ini.”
“Nggak lah Mas. Lap tangan nggak perlu bagus-bagus amat. Ini aja udah cukup.”
“Kualat sampean!”
Jalan mulai lengang. Deru mesin kendaraan tak terdengar lagi. Jawul nyaris hilang harapan untuk memperoleh bendera. Tak bisa ia membayangkan betapa paniknya suasana di rumah nyonya Sonia, karena saat ini jam sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB, sementara ia belum juga datang membawa bendera. Jawul tak mungkin kembali tanpa bendera itu. Dengan langkah gegas, tersengah-sengah, setengah berlari ia melesap pulang ke rumah kontrakannya.
Setiba di rumah, langsung saja Jawul melucuti seragamnya, mencopoti baju dan celana, dan sudah pasti menanggalkan celana pendek itu. Dibelahnya kedua sisi celana pendek kesayangannya itu, lantas dijahitnya dengan jarum tangan sekenanya hingga utuh jadi bendera. Meski sisi atas yang berwarna merah lebih kecil dari sisi bawah yang berwarna putih. Timpang.
“Mau dibawa ke mana Mas?” tanya Lastri, istrinya.
“Aku ndak mau dipecat hanya gara-gara bendera celaka ini.”
“Dipecat gimana Mas?”
“Masa kalau ndak ada bendera sampai besok pagi, aku dan Sumi akan dipecat nyonya?”
“Tapi ndak usah kuatir! Ini sudah jadi bendera. Malam ini juga akan kupasang. Biar mereka puas. Ndak punya celana pendek juga ndak apa-apa, asal bendera tetap berkibar,” ketusnya lagi.
****
Sepagi ini, nyonya Sonia dan suaminya sudah bangun. Mereka melakukan senam ringan sekadar menghangatkan badan sebelum menghadiri upacara peringatan hari kemerdekaan di halaman kantor Gubernur. Diam-diam Sumi mengintip dari balik jendela dapur. Ia masih berharap agar Jawul datang membawa bendera. Jika tidak, apa boleh buat, mereka berdua akan angkat kaki dari rumah itu. Dipecat hanya gara-gara bendera. Sumi terus memerhatikan gerak gerik nyonya. Belum tampak tanda-tanda nyonya bakal marah besar. Hanya beberapa meter dari tiang bendera di halaman rumah itu, nyonya berdiri sambil menengadah. Ia lega setelah melihat bendera sudah terpasang dan berkibar ditiup angin sepoi pagi itu.
“Ma, bendera kita kelihatannya lusuh amat?”
“Lusuh? Kemarin Papa yang nyuruh si Jawul beli bendera baru. Bendera baru kok dibilang lusuh?”
“Merahnya kurang menyala, seperti bendera bekas. Sisi atas dan sisi bawah kurang imbang, agak senjang.”
“Ah, yang penting kita sudah mengibarkan bendera, besok juga sudah diturunkan.”
Jawul datang agak telat, nyonya Sonia dan suaminya sudah berangkat saat ia tiba. Sebelum masuk ke dapur untuk memesan segelas kopi panas pada Sumi, sejenak ia berhenti di depan pos satpam, menghadap ke tiang bendera. Dengan sikap sempurna, tegap dan berwibawa, Jawul memberi hormat pada bendera itu.
0 comments:
Post a Comment