Bagaimana sebuah kata “DISKON” dapat mempengaruhi hasrat berbelanja
masyarakat terutama kaum perempuan? Apa gerangan yang menjadi magnet
dari kata tersebut sehingga para kalayak ramai bisa dengan enteng
merogoh kantongnya untuk membeli barang-barang yang justru sering kali
tidak diperlukan. Bagaimana fenomena ini selalu menyedot perhatian
sepanjang tahun?
Diskon besar-besaran. Big sale. Discount up to 80%. Ataupun 70% off dan
model kata-kata ajaib lainnya yang sering digunakan oleh para retail
untuk menarik minat belanja para calon konsumennya.
Diskon secara umum dapat diartikan sebagai potongan harga beli sebuah
product. Diskon memiliki banyak sekali alasan yang mendasari sebuah
perusahaan mengambil langkah mengurangi harga jual productnya. Salah
satunya adalah sebagai langkah marketing perusahaan untuk menarik minat
konsumen, pengenalan product baru (promotion), atau dengan alasan
terdapat penumpukan banyak barang yang tidak laku/tidak layak jual
sehingga perusahaan mengambil kebijakan untuk menggelar obral
besar-besaran.
Diskon..Diskon dan Diskon. Big Sale..!
Dimana-mana terpampang kata itu. Setelah melewati moment natal dan tahun
baru, kesempatan memanfaatkan moment lain akan segera tiba.
Diskon merupakan kesempatan yang ditunggu-tunggu para konsumen untuk
meraup manfaat dan keuntungan, yaitu memperoleh barang-barang kualitas
bagus dengan harga yang relatif murah. Apalagi jika barang yang didiskon
adalah barang-barang yang pas sekali dengan kebutuhan. Rasanya klop
sekali. Mantap kalau istilah sekarang. Diskon bisa dijadikan sebagai
ajang penghematan. Namun, jika kita tidak jeli sebagai konsumen diskon
justru akan mendatangkan sejumlah kerugian yang jauh lebih besar.
Biasanya diskon dipromosikan lewat spanduk atau pamflet menyolok dengan
warna-warna menyala agar mudah dipandang, iklan-iklan di TV pun
berkeliaran, tak urung selebaran-selebaran pun ikut beterbangan bahkan
juga diteriakkan oleh pramuniaga cantik. Biasanya kalau di Hongkong
selalu berteriak, “Mai lei kan mai lei kan, Yao beng yao leng.”
(Silahkan dipilih, murah dan bagus itu maksudnya).
Tidak dapat dipungkiri bahwa kecantikan para pramuniaga senantiasa
dijadikan alat untuk menyihir konsumen oleh pengusaha. Para penyihir
cantik ini pun selalu murah senyum dan ramah. Mereka akan dengan
gamblang menjelaskan detail demi detail product perusahaannya. Hampir
tidak ada cacatnya sama sekali. Dan kita para calon konsumen dengan
hikmadnya menghayati. Sejumlah brand sengaja membuat ajang khusus
semacam konsep festival guna menambah daya tarik sehingga para calon
konsumen seakan merasa dimanjakan.
Dari sini yang semula hanya ikut-ikutan berkerumun sekedar melihat dan
ingin tahu bisa dengan mudah terpikat untuk menyambar barang yang
dijual. Sebab dengan melihat tingginya animo orang ditambah rasa
antusiasnya untuk mencoba dan mencari tahu sangat memudahkan para
pramuniaga melancarkan sihirnya. Maka terperosoklah ikut hanyut
berbelanja. Wichhh… Magnet diskon.
Sikap membabibuta dalam berburu diskon yang demikian ini sangat
merugikan. Kenapa? Sebab yang tadinya berusaha mencari big sale berubah
menjadi big mistake. Konsumen sering lupa diri dan terhanyut buaian
iklan ketika melihat embel-embel diskon dan dengan mudah mengeluarkan
uang untuk berbelanja barang-barang yang sebenarnya belum tentu
dibutuhkan, hanya sekedar memburu diskon tanpa memprioritaskan
kegunaannya alhasil kebutuhan primer justru terabaikan. Terkadang juga
mengganggu kebutuhan lain terutama bagi pengguna kartu kredit, sering
terjebak dalam bunga dan tagihan yang membengkak. Iming-iming diskon
sangat mungkin justru menjadi bumerang apabila konsumen tidak cermat
menyikapinya. Alih-alih niat semula menghemat malah menjadi malapetaka.
Sebenarnya, kalau kita mau jeli mencermati program diskon ini
berlangsung sepanjang tahun. Tidak ada berhentinya. Jadi istilah berburu
diskon saya rasa kurang tepat. Jika saat itu tidak memungkinkan
berbelanja masih ada kesempatan pada bulan berikutnya ko.
Ada banyak sekali “mantra-mantra sihir” yang dipakai pedagang untuk
mengadakan program diskon besar-besaran. Sebut saja cuci gudang untuk
menyambut tahun baru di bulan Desember-Januari atau Christmas Sale,
Valentine’s Love Discount di bulan februari, bisa juga Save 60% Chinese
New Year/ Imlek, Diskon libur sekolah sementar Juli
adalah Back to school yang menyajikan dagangan untuk keperluan anak-anak
sekolah.
Ada lagi , Agustus diskon menjelang Dirgahayu RI, September Back to
campus, Oktober-Nopember diskon Ramadhan dan Idul Fitri serta kembali ke
Desember diskon Natal dan cuci gudang. Jadi diskon itu tidak pernah
berakhir tinggal gaya dan trik serta modusnya saja yang diotak-atik.
Selain itu masih sangat banyak lagi diskon-diskon lainnya. Misalnya HUT
pusat perbelanjaan atau perusahaan tertentu, program promo, lounching
produk baru, diskon pembelian dalam jumlah besar, diskon stok lama dan
masih banyak lagi lainnya. Pada pointnya alasan diskon bukan hal sulit
untuk dicari sebagai strategi marketing sebuah perusahaan.
Diskon dapat dengan mudah menggiring calon konsumen bertindak lebih
konsumtif dari sebelumnya. Konsumen sering termakan dan terjebak dengan
modus atau trik penjualan barang yang sebenarnya menjabak.
Dengan mantra-mantra sakti seperti: Discount up to 70%, 30%+20% bagi
pemegang member card, Big Sale Now, Free 50%, By one Free One, +20%
diskon toko, Murah hanya 60% harga semula, Obral, Sekarang Turun Harga
dan lain-lain. Apakah semua ini manipulasi? Tidak.
Hanya saja konsumen sering kali tidak teliti dan kekurangtelitian ini
dimanfaatkan oleh pengusaha.
Ahmad Gozali, perencana keuangan dalam bukunya Cash Flow for Women
menerangkan bahwa diskon yang ditawarkan sebenarnya bukanlah potongan
harga,
tetapi strategi penjualan dengan penambahan syarat dan ketentuan yang
bisa membingungkan konsumen.
Contoh diskon bersyarat, beli Minyak Goreng diskon 50% jika pembeli
menghabiskan minimal Rp.150.000. Konsumen merasa beruntung membeli
sebotol minyak goreng dengan harga Rp.16.000 padahal biasanya dijual
seharga Rp 32.000. Padahal sebenarnya konsumen telah berbelanja Rp.
166.000 setelah
dikurangi diskon Rp 16. 000 maka diskon keseluruhan dari total belanjaan
hanya
9,64%. Perhatikan uaraian berikut!
Harga Minyak awal Rp.32.000 - 50% diskon dengan syarat minimal blanja
Rp. 150.000
MARI KITA HITUNG!
50% × 32.000 = 16. 000
SYARAT = 150.000
JADI, Total belanja adalah 150.000 + 16.000= 166.000
Maka Jumlah diskon keseluruhan yang didapatkan adalah,
*Jika tanpa diskon seharusnya 182.000
Maka diskon yang diperoleh sebenarnya adalah:
(16.000÷166.000)×100% = 0,0964 ×100% = 9,64%.
Nah.. Diskon ini hanyalah trik dan modus. Bahkan dengan belanja Rp
150.000 penjual sudah mempunyai laba menutupi diskon Rp 16.000 minyak
gorengnya yang mungkin sudah hampir kadaluarsa.
Selain itu masih ada lagi diskon bertahap, beli barang satu diskon 10%
dan beli dua diskon
50%. Konsumen yang berhati-hati pasti mengira diskon 60%. Padahal kalau
dihitung Cuma berdiskon 30%. Nah, ko gitu?
Contoh:
Kaos 1 dengan harga Rp 100.000 diskon 10% menjadi Rp 10.000 jadi harga
kaosnya Rp. 90.000.
Kaos ke 2 harga masih sama Rp. 100.000 diskon 50% jadi Rp 50.000. Total
diskon dari pembelian keseluruhan 60.0000 dari
harga dasar 2 kemeja Rp 200.000 sama dengan diskon 30%.jadi diskon
sebenarnya bukan 60% dari total keseluruhan.
Total diskon sebenarnya:
{(10.000+50.000) ÷200.000} × 100%
= (60.000÷200.000) × 100%
=30%
Dan modus diskon telah beehasil membuat konsumen terkecoh. Masih banyak
trik diskon lainnya yang kelihatan sangat menggiurkan padahal hanyalah
strategi pemasaran. Sistem marketing sebuah perusahaan tentu tidak
mengijinkan perusahaannya rugi maka dwngan trik dan modus yang terkesan
halus sebagai umpan untuk menarik minat para konsumen.
Pilihan perusahaan hanya ada mencari trik agar barang tidak tertimbun
digudang hingga tidak laku terlebih jika itu barang konsumtif yang
terhalang masa kadaluarsa. Otomatis jika barang tidak laku maka kerugian
akan semakin besar. Jadi lupakanlah, tidak ada satu pun kebijakan
diskon yang berpihak sebagai kebaikan hati produsen kepada konsumennya.
Untuk itu sebagai calon korban diskon maka pakailah strategi cerdas
untuk berburu diskon dimana pun berada.
1. Pastikan barang yang dibeli benar-benar dibutuhkan. Jangan sampai
susah-susah
memburunya hanya menjadi penghuni gudang atau malah menambah sesak
ruangan
di rumah yang sudah sempit.
2. Pastikan barang dalam kualitas prima, tidak rusak, tidak kadaluarsa,
eks display
atau rejected.
3. Pastikan harga yang didiskon tidak di-mark-up.
4. Cermati trik-trik diskon bersyarat yang membuat pengeluaran malah
bertambah.
Intinya berbelanja pun perlu “kecerdasan” sikap, agar tidak dibodohi
oleh trik
diskon yang menjebak apalagi hingga menjerat pada pengeluaran yang
diluar batas.
Kenapa acara-acara diskon semacam itu biasanya ditampilkan dengan banner
ataupun poster-poster? Keterangan-keterangan tersebut biasa dilabelkan
para retail untuk menarik konsumen agar berkenan mampir untuk melihat
brang-barang mereka dan akhirnya terpincut untuk membelinya. Salah satu
cara yang biasa dilakukan para retail untuk menarik konsumen adalah
dengan mencoret sebuah harga lama(yang mahal) dan membubuhkan harga baru
yang tentu saja, lebih murah.
Sebagian dari calon korban mungkin berpikir, apa yang membuat para
retail tersebut mau repot-repot untuk mencoret angka yang sebenarnya
tidak tiperlukan? Apa yang dilakukan oleh para retail tersebut adalah
salah satu bentuk framing , di mana mereka mencoba untuk memberikan
kesan bahwa barang
yang mereka tawarkan jauh lebih murah dari harga asalnya.
Framing (Kahneman & Tversky, 1998) merupakan salah satu fase dalam
proses
pemilihan yang memberikan analisa awal pada pemutusan masalah. Dalam
fase ini, sebuah masalah dapat ditampilkan baik atau buruk tergantung
bagaimana cara masalah pemilihan itu diutarakan, baik oleh nilai yang
ada,
kebiasaan atau harapan si pembuat keputusan.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa framing adalah ‘first impression
’ yang nantinya akan dapat mempengaruhi keputusan seseorang dalam
memilih. Framing sangat erat kaitannya dengan titik referensi, yaitu
sebuah titik yang dijadikan patokan dalam sebuah perbandingan.
Logikanya, sesuatu akan terlihat lebih rendah ketika berada di bawah
titik referensi. Begitu
juga sebaliknya, dapat terlihat sangat tinggi bila berada di atas titik
referensi. Dalam framing , titik referensi ini menjadi ‘bingkai’
seseorang
dalam mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan. Kemungkinan- kemungkinan
yang telah ter- framing tersebutlah yang kemudian dievaluasi oleh sang
pemilih.
Salah satu contoh adalah kebijakan ‘mencoret harga awal’ yang dilakukan
oleh para retail tersebut. Pada awalnya mereka menuliskan dengan
bombastis berapa harga awal, yang seringkali jauh lebih mahal, misalnya
Handphone Rp. 2.5 juta. Angka yang besar itu secara otomatis menjadi
titik referensi kitab karena informasi tersebut kita dapatkan terlebih
dahulu. Kemudian, para retail tersebut ‘mencoret harga awal’ tersebut
dan memberikan angka Rp.1,5juta di bawahnya. Tidak lupa dengan
menambahkan kata-kata semacam “turun harga!” atau “Diskon
besar-besaran!” atau mungkin mantra-mantra cantik lainnya.
Karena kita awalnya memandang angka Rp. 2,5 juta sebagai patokan, harga
Rp.1,5juta yang berada di bawahnya akan terlihat jauh lebih murah. Yang
diharapkan, tentu saja, kita menjadi lebih ‘welcome ’ pada harga
tersebut (Rp. 1.500.000) dan memandang biaya tersebut sebagai ‘biaya
yang murah’.
Selisih antara titik referensi, yaitu Rp. 2,5 juta dengan harga yang
dibayar, yaitu Rp. 1,5juta akan terlihat sebagai keuntungan bagi
pembeli. Mereka akan merasa membayar (jauh) lebih murah bila
dibandingkan dengan apa yang bisa mereka dapatkan. Hal ini tentu saja
membuat mereka, setidaknya beberapa dari mereka, mulai menyadari
keuntungan yang mereka peroleh.
Perasaan ‘untung’ itulah yang dikejar para retail untuk meningkatkan
keinginan konsumen membeli barang yang dimaksud. Namun, kalau kita mau
memperhatikan. Menimbangnya kembali bahwa dengan harga Rp. 1,5juta
apakah harga tersebut sesuai dengan kualitas barang yang kita beli?
Mungkin jika kita lebih bijak hanya dengan menambah beberapa ratus ribu
kita justru mendapatkan barang dengan kualitas lebih unggul.
Dalam framing pemakaian bahasa pun bisa menjadi hal yang sangat penting.
Dengan menggunakan bahasa yang mengedepankan sisi positif, seseorang
akan memandang informasi tersebut sebagai informasi yang menguntungkan.
Misalnya pemakaian kata “80% lulusan terserap menjadi tenaga kerja”
lebih dipilih menjadi tagline sebuah universitas swasta daripada “20%
lulusan menjadi pengangguran”, meskipun memiliki arti
yang sama. 80% persen terserap tenaga kerja artinya yang 20% masih
menganggur.
Bagi produsen, framing mungkin salah satu cara untuk menjaring
ketertarikan sebanyak-banyaknya tanpa bermaksud membohongi para
konsumen. Mereka menyampaikan kebenaran meskipun dibungkus sedemikian
rupa dengan bingkai yang cantik. Tentu saja tidak ada yang
salah dengan hal itu. Konsumen pun tidak dapat dikatakan merugi. Mereka
merasa untung dengan melihat adanya selisih dari titik referensi dengan
harga yang mereka bayar.
Namun, patut diperhatikan bagi konsumen, bahwa titik referensi yang
dipatok produsen terkadang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Mereka
melebih-lebihkan harga patokan agar konsumen merasa , sekali lagi hanya
MERASA, untung banyak. Padahal bisa jadi, hanya untung sedikit atau
bahkan rugi sama sekali. Kalau sudah begini, maka mata konsumenlah yang
mesti jeli melihat peluang untung atau buntung dalam fenomena
framing dalam diskon besar-besaran.
Produsen dan para retail boleh memiliki strategi marketing untuk
menyedot dan menjajakan dagangannya agar laris manis. Itu sah. Tidak
salah. Dalam hukum pemasaran produsen memiliki prinsip dengan modal
serendah-rendahnya mencari keuntungan sebesar-besarnya. Walaupun ada Big
Sale, perusahaan tetap berpikir agar mereka tidak mengalami kerugian.
Bahkan dengan adanya strategi diskon mereka justru mampu mengeruk
keuntungan yang sangat besar. Mulai hari ini jadilah konsumen yang
cerdas dalam menghadapi fenomena diskon belanja.
0 comments:
Post a Comment