SISTEM INOVASI DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DI INDONESIA (Studi Kasus Kawasan Industri Cikarang, Kabupaten Bekasi)

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Model pembangunan dewasa ini yang hangat dibicarakan di Indonesia dan mulai
masuk dalam tahap implementasi adalah pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Kawasan Ekonomi Khusus merupakan suatu kawasan dengan batas tertentu yang ditetapkan
untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Fasilitasfasilitas
tertentu ini terkait dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada investor
dalam melakukan kegiatan perdagangan dan investasi, dengan demikian akan mendorong
masuknya investasi dalam jumlah besar ke dalam kawasan tersebut.
Kemudahan-kemudahan yang diberikan bagi investor yang bersedia menanamkan
modalnya di KEK berwujud insentif fiskal maupun insentif non fiskal. Insentif fiskal yang
ditawarkan adalah :
- setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberikan fasilitas Pajak
Penghasilan (PPh);
- pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam kurun waktu tertentu bagi penanam
modal;
- penangguhan bea masuk, pembebasan cukai (sepanjang merupakan bahan baku atau bahan
penolong industri), pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPnBM) untuk impor barang ke KEK;
- setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberikan pembebasan atau
keringanan pajak daerah dan retribusi daerah.
Sementara itu insentif non fiskal yang ditawarkan adalah :
- kemudahan dan keringanan perijinan untuk kegiatan usaha, perindustrian, perdagangan,
kepelabuhan, dan keimigrasian bagi pelaku bisnis;
- fasilitas keamanan;
- ijin mempekerjakan tenaga kerja asing yang mempunyai jabatan sebagai direksi atau
komisaris diberikan sekali dan berlaku selama tenaga kerja yang bersangkutan menjadi
direksi atau komisaris.
Ekonomi biaya tinggi dianggap sebagai hambatan berinvestasi di Indonesia, terutama
bagi para investor luar negeri. Ekonomi biaya tinggi seringkali dipicu oleh panjangnya dan
rumitnya pengurusan perijinan yang berimplikasi pada tingginya biaya perijinan, di samping
itu dipicu oleh kebijakan-kebijakan fiskal pemerintah yang dianggap memberatkan para
pelaku bisnis. Keberadaan KEK diharapkan dapat memangkas ekonomi biaya tinggi dan
membuat iklim berinvestasi di Indonesia menjadi menarik bagi investor.
Langkah Indonesia membangun KEK bukanlah yang pertama kali di dunia. Telah
banyak negara yang menerapkan KEK untuk menggairahkan perekonomian negara dimana
salah satu praktek KEK yang sukses adalah di Cina. Namun demikian, penerapan KEK ada
yang gagal total sama sekali sebagaimana yang terjadi di Korea Utara. Keberhasilan Cina
menerapkan KEK menjadi daya tarik Indonesia untuk mengikuti jejak
tah untuk menjadikan Kawasan Industri Cikarang sebagai
KEK. Pengajuan Kawasan Industri Cikarang untuk menjadi Kawasan Ekonomi Khusus
sebenarnya telah lama digulirkan. Pengajuan tersebut memang tidak terlepas dari
pembentukan KEK Batam, Bintan, dan Karimunjawa (BBK) oleh Pemerintah. Merasa lebih
kompeten dan potensial dibandingkan dengan BBK, maka sejak saat itu Pemerintah Provinsi
Jawa Barat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten Bekasi berupaya mengajukan Kawasan
Industri Cikarang agar dijadikan KEK pula. Hal ini dikarenakan 60% industri manufaktur di
Indonesia berada di Jawa Barat, terutama di Cikarang Bekasi. Akhirnya usulan tersebut
diterima oleh Pemerintah dan kemudian Kawasan Industri Cikarang diproyeksikan menjadi
KEK dan saat ini dalam tahap perencanaan.
Namun demikian, pembangunan Kawasan Industri Cikarang sebagai KEK bukan
tanpa hambatan. Beberapa reaksi telah ditunjukkan oleh beberapa kalangan. Salah satunya
adalah reaksi dari Serikat Pekerja yang mengarah kepada resistensi terhadap penerapan KEK.
Resistensi ini muncul karena adanya kekhawatiran nasib para pekerja akan makin tertindas
dengan penerapan KEK ini karena KEK dianggap lebih memihak kepentingan pengusaha.
Potensi resistensi juga datang dari masyarakat lokal, yang selama ini kurang terakomodasi
dalam lapangan kerja di Kawasan Industri Cikarang. Belum lagi potensi resistensi yang dapat
muncul dari para pelaku UMKM lokal yang pasti akan terkena dampak dari pembangunan
KEK di Kawasan Industri Cikarang.
Pembangunan KEK memang akan memiliki implikasi bagi sejumlah pihak, baik
pemerintah pusat, pemerintah daerah, investor asing, investor domestik, para pekerja, UMKM
lokal, dan masyarakat setempat yang daerahnya menjadi lokasi KEK. Banyaknya pihak yang
akan menerima dampak dari pelaksanaan KEK tentunya memunculkan negosiasi-negosiasi
berbagai kepentingan yang berbeda. Riak-riak resistensi sudah mulai nampak sebagai wujud
ketakutan dan kehawatiran dari pihak-pihak yang mungkin akan “kalah” atau “dikalahkan”
dalam negosiasi tersebut. Untuk mencapai pembangunan KEK yang berhasil sebagaimana
yang diharapkan oleh pemerintah, maka perlu digagas inovasi sistemik dalam pembangunan
KEK dimana kepentingan sejumlah pihak yang berbeda harus dirangkul dan diakomodasi
sehingga KEK dapat berjalan sukses dan manfaatnya dapat dinikmati secara bersama-sama
oleh sejumlah pihak.
I.2. Rumusan Masalah
Pemerintah memiliki kepentingan besar dalam pembangunan KEK. Pertumbuhan
Indonesia yang mulai melambat dan tingginya tingkat pengangguran di Indonesia menjadi
dorongan bagi pemerintah untuk mengimplementasikan KEK sehingga akan banyak investasi
yang ditanamkan dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar yang pada akhirnya
mampu memacu pertumbuhan perekonomian Indonesia. Menteri Perdagangan Mari Elka
Pangestu menegaskan bahwa keberadaan KEK di tengah krisis global sudah sangat mendesak
karena cepat atau lambat imbas krisis ekonomi di dunia akan mempengaruhi perekonomian
nasional. Menteri Perdagangan mengharapkan KEK menjadi kawasan unggul sehingga
menarik investor dan meningkatkan daya saing di tengah persaingan regional dan global.
Keseriusan pemerintah membangun dan mengembangkan KEK di Indonesia adalah
telah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi
Khusus, yang mengatur sejumlah hal terkait dengan pembangunan KEK. Niat pemerintah
menggarap KEK telah terlihat beberapa tahun sebelumnya dimana dalam satu pasal dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 telah diatur mengenai Kawasan Ekonomi Khusus.
Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun merupakan kawasan pertama
ditimbulkan dari KEK. Selain itu, juga melakukan audiensi
dengan para pemegang kebijakan untuk membatalkan rencana penerapan KEK.
"Kita sudah sebarkan imbauan berisi penjabaran resiko KEK bagi kaum buruh. Secara
tegas kami menolak KEK," kata Obon.
Pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bekasi, memiliki kepentingan
besar untuk mendapatkan manfaat dari penerapan KEK di wilayahnya. Meskipun Pemerintah
Kabupaten Bekasi memiliki resiko kehilangan sejumlah pendapatan dari pajak daerah dan
retribusi daerah sebagai kontribusi insentif pemerintah daerah dalam KEK, namun Pemerintah
Kabupaten Bekasi memiliki ekspektasi besar bahwa pembangunan KEK dapat menyerap
tenaga kerja lokal dan mendorong pertumbuhan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)
yang ada di daerah. Persoalan yang dihadapi oleh daerah saat ini adalah rendahnya kualitas
sumber daya tenaga kerja lokal dan kualitas produk UMKM lokal, padahal pelaksanaan KEK
tentunya membutuhkan tenaga kerja yang terampil serta bahan baku yang berkualitas tinggi
karena produk yang dihasilkan dalam KEK berorientasi ekspor. Dampak pembangunan KEK
terhadap perekonomian daerah pernah diungkapkan oleh Menteri Perdagangan sebagai
berikut :
“.....keuntungan kawasan ekonomi ini tidak saja terbatas pada kawasan tersebut, tetapi
juga akan ada efek secara umum ke daerah di luar kawasan tersebut, dengan
berkembangnya industri yang menunjang, dan berkembangnya jasa-jasa yang menunjang
di sekitarnya”.
Yang menjadi pertanyaan, mampukah industri dan jasa lokal atau UMKM lokal
meraih peluang berkontribusi dalam KEK dan turut menikmati kue benefit dari KEK yang
ada di wilayahnya. Jika tidak, maka UMKM lokal hanya menjadi penonton di rumahnya
sendiri dan akan menimbulkan kesenjangan kesejahteraan yang semakin lebar antara UMKM
lokal dan industri-industri raksasa yang ada dalam lokasi KEK. Atau justru UMKM akan mati
dengan adanya bombardir produk-produk yang dihasilkan dari KEK dan dipasarkan ke luar
KEK, karena produk-produk tersebut lebih murah akibat berbagai insentif yang diterima dan
kualitasnya juga tidak kalah atau bahkan lebih baik dibandingkan produk-produk UMKM.
Meskipun penjualan barang dari KEK ke luar kawasan KEK akan dikenai tarif impor, bisa
saja tidak menurunkan daya saing produk KEK jika tarif impor yang dikenakan relatif kecil
sehingga produk KEK akan lebih murah harganya dibandingkan produk UMKM lokal.
Saat ini masih banyak tenaga kerja di Kabupaten Bekasi yang belum tertampung
dalam lapangan pekerjaan. Hal ini sebenarnya merupakan potensi untuk menyediakan tenaga
kerja dalam pembangunan KEK nantinya, meskipun dihadapkan pada kendala kualitas tenaga
kerja. Diharapkan pembangunan KEK dapat menyerap tenaga kerja lokal yang ada sehingga
mampu mengurangi tingkat pengangguran. Ternyata selama ini ketika masih berwujud
Kawasan Industri Cikarang, tenaga kerja yang bekerja di kawasan tersebut justru kebanyakan
berasal dari luar Bekasi, sementara tenaga kerja lokal yang terserap dalam kawasan hanya
sebagian kecil saja. Apabila hal ini terulang dalam pembangunan KEK, tentunya dapat
menimbulkan persoalan di kemudian hari dan rentan menimbulkan konflik sosial karena
semakin besarnya tuntutan masyarakat lokal untuk dapat berpartis
NJAUAN PUSTAKA
II.1 Sistem Inovasi
Inovasi seringkali dikembangkan dalam sistem yang dibentuk oleh aktor-aktor dan
organisasi-organisasi, yang semuanya berkontribusi dalam cara-cara yang berbeda dan
interaktif. Hubungan antara aktor-aktor dan organisasi-organisasi dan institusi-institusi yang
mempengaruhi membentuk sistem inovasi. Lundvall menekankan bahwa pembelajaran
merupakan aktivitas sentral dalam sistem inovasi dimana pembelajaran merupakan sebuah
aktivitas sosial yang melibatkan interaksi antara orang-orang. Hal ini menunjukkan bahwa
sistem inovasi merupakan sebuah sistem sosial dan dinamis, yang dicirikan dengan umpan
balik positif dan reproduksi. Proses-proses pembelajaran dan inovasi dapat dipromosikan oleh
unsur-unsur sistem inovasi yang memperkuat satu sama lain, atau sebaliknya yang
menghalangi proses-proses semacam itu ketika unsur-unsur tersebut bergabung ke dalam
kumpulan yang kurang baik. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bahwa pengetahuan
individu-individu atau agen-agen kolektif dihasilkan dan dipertukarkan (Negro, 2007).
Definisi mengenai sistem inovasi sangat beragam. Terdapat berbagai sudut pandang
dalam memaknai sistem inovasi. Lundvall (1992) mendefinisikan sistem inovasi sebagai
unsur-unsur dan hubungan-hubungan yang berinteraksi dalam produksi, difusi, dan
penggunaan pengetahuan yang baru dan berguna secara ekonomis, dan seringkali berlokasi
atau berakar dalam batas-batas suatu negara. Freeman (1987) menyatakan sistem inovasi
sebagai jejaring kelembagaan dalam sektor publik dan swasta dimana kegiatan-kegiatan dan
interaksi-interaksinya memulai, mendatangkan, mengubah, dan mendifusikan teknologiteknologi
baru. Sementara itu, definisi sistem inovasi menurut Hall dkk. (2003) adalah
kelompok organisasi dan individu yang terlibat dalam produksi, difusi dan adaptasi, dan
penggunaan pengetahuan signifikansi sosial ekonomi, dan konteks kelembagaan yang
mengatur cara dimana interaksi-interaksi dan proses-proses ini terjadi. Lebih lanjut Hall dkk.
(2003) menyatakan bahwa pendekatan sistem inovasi memandang inovasi dalam cara yang
lebih sistemik, interaktif, dan evolusioner, dimana produk-produk dan proses-proses baru
dibawa ke dalam penggunaan ekonomi dan sosial melalui kegiatan-kegiatan jejaring
organisasi yang dimediasi oleh berbagai kelembagaan dan kebijakan.
Meskipun terdapat berbagai definisi mengenai sistem inovasi, berbagai definisi
tersebut menunjukkan empat hal yang sama. Pertama, ada penekanan bahwa inovasi adalah
proses pembelajaran. Hal ini berarti bahwa perubahan teknologi tidak banyak
dipertimbangkan sebagai pengembangan material, tetapi lebih sebagai suatu rekombinasi dari
pengetahuan (yang seringkali sudah ada) atau penciptaan kombinasi-kombinasi baru. Proses
pembelajaran ini bergantung pada keterlibatan banyak aktor yang mempertukarkan
pengetahuan, aktor-aktor ini terdiri dari berbagai organisasi, meliputi perusahaan, pemerintah,
dan lembaga penelitian. Kedua, ada penekanan pada peranan lembaga. Lembaga dapat
dianggap sebagai ketentuan, regulasi, dan rutinitas yang membentuk ruang kemungkinan bagi
aktor-aktor. Dengan ini, lembaga merupakan penggerak maupun hambatan penting bagi
inovasi (Suurs, 2009).
Ketiga, sistem inovasi menekankan hubungan antara aktor dan lembaga atau adanya
gagasan tentang suatu sistem. Perspektif sistem menunjukkan adanya pendekatan holistik.
Holistik dalam sistem inovasi berarti bahwa kinerja suatu sistem inovasi tidak dapat dianggap
sebagai fungsi linear dari unsur-unsurnya. Sebaliknya, hal tersebut me
ra banyak proses dimana semua proses ini berjalan paralel
dan memperkuat satu sama lain melalui mekanisme umpan balik positif. Jika umpan balik
semacam ini diabaikan, apakah oleh pembuat kebijakan ataupun oleh pengusaha, maka hal ini
kemungkinan besar menyebabkan kegagalan dalam proses inovasi di seluruh sistem (Suurs,
2009).
Edquist (2001) dalam Negro (2007) menekankan bahwa faktor-faktor penentu
(ekonomi, sosial, politik, organisasi, dan lain-lain) yang mempengaruhi pembangunan, difusi,
dan penggunaan inovasi, dapat ditelusuri dengan mengidentifikasi semua aktivitas yang
terjadi dalam sistem inovasi. Bagaimanapun, hal tersebut tidak mungkin untuk memetakan
seluruhnya, oleh karenanya hanya kegiatan-kegiatan yang paling relevan yang dimasukkan,
misalnya kegiatan yang mempengaruhi tujuan sistem inovasi. Kegiatan-kegiatan yang
berkontribusi terhadap tujuan sistem inovasi disebut sebagai fungsi dari sistem inovasi atau
fungsi sistem (Hekker dkk, 2006 dalam Negro, 2007). Jacobsson dan Johsons
mengembangkan konsep fungsi sistem dan mendefinisikannya sebagai sebuah kontribusi dari
suatu komponen atau seperangkat komponen terhadap kinerja suatu sistem (Bergek, 2002
dalam Negro, 2007).
Fungsi sistem yang paling mendasar sebagaimana yang disebutkan dalam banyak
kajian tentang sistem inovasi adalah kegiatan “pembelajaran” atau “pembelajaran interaktif”.
Kegiatan ini berada pada inti pendekatan sistem inovasi (Lundvall, 1992 dalam Negro, 2007).
Sementara itu, Edquist dan Johnson (1997) dalam Negro (2007) mengungkapkan tiga fungsi
kelembagaan dalam sistem inovasi, yaitu kelembagaan mengurangi ketidakpastian dengan
menyediakan informasi, mengelola konflik dan kerja sama, dan menyediakan insentif-insentif
untuk inovasi. McKelvey (1997) dalam Negro (2008) melihat tiga fungsi berbeda dari sistem
inovasi sebagaimana dia mendefinisikan sistem inovasi berdasarkan teori evolusioner, yaitu
(i) penyimpanan dan penyebaran informasi, (ii) menghasilkan kebaruan yang mengarah pada
keberagaman, dan (iii) pemilihan di antara alternatif-alternatif. Pentingnya jejaring sangat
ditekankan.
Johnsons (1998) dalam Negro (2008) mengidentifikasi delapan fungsi sistem, yaitu :
1. menyediakan insentif bagi perusahaan untuk terlibat dalam pekerjaan inovatif;
2. menyediakan sumber-sumber daya (modal dan kompetensi);
3. memandu arah pencarian (mempengaruhi arah aktor-aktor dalam menggunakan sumber
daya);
4. mengenal potensi pertumbuhan (mengidentifikasi kemungkinan teknologi dan
keberlangsungan ekonomi);
5. memfasilitasi pertukaran informasi dan pengetahuan;
6. menstimulasi/menciptakan pasar;
7. mengurangi ketidakpastian sosial (misalnya ketidakpastian tentang bagaimana yang lain
akan beraksi dan bereaksi);
8. menangkal resistensi terhadap perubahan yang mungkin timbul dalam masyarakat ketika
suatu inovasi diperkenalkan (memberikan legitimasi bagi inovasi).
Bruijn dkk. (2004) mengungkapkan bahwa hakikat sistem inovasi adalah komprehensif
dan radikal. Inovasi bersifat komprehensif karena seluruh sistem harus berubah
rupakan tujuan jangka panjang.
b. Inovasi sistem bersifat disengaja, artinya orang-orang menyadari sifat sistemik dari inovasi
dan implikasinya.
c. Interaksi mendominasi, artinya tujuan perubahan dirumuskan bersama-sama dengan pihakpihak
terkait dan terus menerus disesuaikan karena tidak mungkin bagi satu pihak atau
beberapa pihak untuk mewujudkan inovasi sistem.
d. Inovasi sistem merupakan perubahan paradigma, untuk mencapai hal ini diperlukan
inisiator perubahan yang memimpin untuk mencapai tujuan perubahan yang disepakati
bersama.
Menurut Bruijn dkk. (2004) terdapat beberapa pola inovasi yang mungkin terjadi, yang
dapat digolongkan ke dalam tiga pola sebagai berikut.
Pola I Pola II Pola III
Inisiator inovasi
Pemerintah dan
pelaku pasar
Akademisi/periset
dan pelaku pasar
Pemerintah dan
akademisi/periset
Tipe perubahan Radikal, komprehensif,
perencanaan unilateral
Organik;
perubahan emergent
Kombinasi antara
terencana dan
emergent
Pendekatan Top down, bermula dari
situasi akhir yang
dikehendaki
Bottom up, seluruh
elemen berubah
sebagai aksi bottom
up
Berjejaring,
kombinasi dari
kepentingankepentingan,
interdependensi
Bruijn dkk. (2004) mengungkapkan tiga faktor penting yang membatasi peluang untuk
mengelola sistem inovasi yaitu :
1. Kekurangan pengetahuan
Sifat mendasar dari perubahan adalah adanya sejumlah besar ketidakpastian.
Ketidakpastian tersebut meliputi :
- keterkaitan antara permasalahan yang ada dengan institusi, struktur, dan norma yang ada;
- institusi, struktur, dan norma yang membutuhkan perubahan;
- dampak perubahan terhadap situasi baru;
- biaya finansial dan sosial dari proses perubahan;
- permasalahan yang mungkin timbul pada situasi yang baru;
- biaya dan dampak dari munculnya permasalahan baru.
Seringkali tidak ada pengetahuan sama sekali mengenai hal-hal di atas. Pihak-pihak yang
berbeda dapat memiliki pandangan yang berbeda. Hal ini menyebabkan inovasi sistem
memiliki resiko.
2. Konsensus berlangsung secara linear
Sistem inovasi mempengaruhi kepentingan banyak pihak. Dalam masyarakat modern,
pihak tersebut cenderung untuk bekerja dalam jaringan: mereka saling bergantung, tidak
ada pihak manapun yang memiliki kekuasaan untuk memaksakan pandangannya pada
pihak yang lain. Pihak-pihak yang terlibat cenderung untuk mengambil pandangan yang
berbeda mengenai keinginan suatu sistem inovasi. Beberapa pihak akan mendukungnya,
beberapa pihak akan bersikap netral, beberapa pihak yang lain lagi akan berusaha untuk
menghalangi inovasi.
3. Pertentangan antara nilai publik dan nilai individu
Banyak perubahan sistem terjadi pada irisan antara sektor publik dan sektor individu.
Akibatnya sistem inovasi memiliki potensi tinggi untuk menimbulkan konflik.





0 comments:

Post a Comment

SISTEM INOVASI DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DI INDONESIA (Studi Kasus Kawasan Industri Cikarang, Kabupaten Bekasi)